Bahasa Sansekerta


Hai, Sobat Pio! Kita akan mempelajari tentang bahasa Sangsekerta. Apa sih bahasa Sansekerta itu? Bahasa Sansekerta merupakan salah satu bahasa kuno yang ada di dunia. Menurut sejarawan, bahasa Sansekerta merupakan bahasa lisan pertama yang ada di bumi. Hal ini dibuktikan dari anggapan yang diajarkan semua lembaga pendidikan dan universitas seluruh dunia yang menganggapnya sebagai bahasa yang paling kuno. Tetapi, belum ada bukti yang memastikan kapan bahasa tersebut digunakan. Bahasa Sansekerta memiliki makna bahasa yang sempurna, antonim dari bahasa rakyat atau prakerta yang banyak dipakai untuk keperluan ilmiah. Bahasa Sansekerta memiliki beberapa ciri-ciri agar dapat dibedakan dengan bahasa yang lainnya. Dalam bahasa Sansekerta memiliki delapan tata bahasa yaitu tata bahasa nominatif, tata bahasa vokatif, tata bahasa akusatif, tata bahasa instrumentalis, tata bahasa dativ, tata bahasa ablatif, tata bahasa generatif, dan tata bahasa lokatif. Selain itu, bahasa Sansekerta juga memiliki ciri yang lain yaitu memiliki tiga gender, feminim untuk perempuan, maskulin laki-laki, dan juga netral. Memiliki tiga jenis jumlah, singular benda yang berjumlah satu, dualis benda yang berjumlah dua, dan jamak untuk benda yang berjumlah lebih dari dua. Memiliki skema dasar dan juga mempunyai hukum sandhi. Bahasa Sansekerta sampai ke Indonesia pada abad ke 5 Masehi oleh pendeta yang berasal dari India dan sekitarnya. Bahasa Sansekerta membawa pengaruh yang besar lewat kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu. Bahasa Sansekerta mulai ditinggalkan pada abad 14 karena runtuhnya kekuasaan kerajaan Hindu yang berganti Islam yang lebih banyak menyebarkan bahasa Arab dan Melayu. Namun, bahasa Sansekerta masih berpengaruh dengan bahasa Indonesia yang masih digunakan dan tercatat dalam KBBI. Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari mempelajari bahasa Sansekerta ini. Kita sebagai bagsa Indonesia harus melestarikan bahasa Sansekerta dan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi agar tidak terlebur oleh waktu. Oleh karena itu, kita harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar agar bahasa Indonesia dapat terus diabadikan dan kita tidak kehilangan identitas nasional Indonesia. (RED_NDY&RED_KEY)

Sumber: https://www.gramedia.com

Lukisan sebagai sumber sejarah


Hai, Sobat Pio! Kali ini kita akan mempelajari tentang lukisan sebagai sumber sejarah. Lukisan merupakan sebuah bentuk ekspresi ide dan emosi yang dituangkan melalui bentuk, garis, warna, dan tekstur. Lukisan dapat dijadikan sebagai sumber sejarah karena merupakan salah satu contoh sumber visual, yaitu sesuatu yang bisa dilihat. Tidak hanya lukisan, namun masih ada sumber visual lainnya yaitu foto, video, dan peta. Salah satu lukisan yang dapat dijadikan sebagai sumber sejarah adalah lukisan gua. Lukisan gua yang berusia ribuan tahun merupakan salah satu sumber sejarah seni lukis dunia. Lukisan gua merupakan refleksi kehidupan manusia pada masa prasejarah yang bergantung pada alam. Lukisan gua menjadi bukti bagi manusia pada jaman sekarang untuk mempelajari kehidupan pada masa itu. Lukisan gua umumnya berbentuk coretan, lukisan, atau cap yang terdapat di dinding gua atau tebing yang dibuat oleh orang-orang jaman dulu sebagai media untuk menyampaikan pesan atau catatan-catatan peristiwa yang terjadi pada jaman itu. Bentuk visual yang terdapat di dinding-dinding gua digunakan sebagai alat komunikasi antar manusia pada jaman itu. Dengan melihat dan menelaah gambar-gambar yang barada di dinding gua kita dapat mengetahui kegiatan apa saja yang mereka lakukan dan bagaimana suasana pada jaman itu. Lukisan yang digambarkan dalam gua pada masa prasejarah merupakan bentuk refleksi dari kehidupan yang dijalani pada masa itu. Kehidupan mereka pada masa itu masih sangat bergantung pada alam. Gua sebagai tempat tinggal dijadikan sebagai salah satu tempat untuk mengekspresikan perjalanan hidup mereka pada saat itu. Lukisan pada dinding gua merupakan sebuah ungkapan kata-kata manusia pada masa itu yang ingin disampaikan kepada masyarakat lainnya yang pada akhirnya menjadi bukti bagi manusia jaman sekarang untuk mempelajarinya. Lukisan pada jaman tersebut juga dijadikan sebagai inspirasi bagi pelukis untuk membuat sebuah karya seni lukisan dalam bentuk dan bahan yang berbeda-beda. Nah, Kalian sudah tahukan kenapa lukisan dapat dijadikan sebagai sumber sejarah. Di dalam sebuah karya lukisan selalu ada cerita yang ingin disampaikan oleh pembuat lukisan kepada orang-orang lain. Karena itulah lukisan dapat digunakan sebagai sumber sejarah. Kita bisa mengambil banyak manfaat dengan meneliti dan mengetahui isi yang disampaikan dalam sebuah karya lukisan. (RED_NDY&RED_KEY)Sumber: https://id.wikipedia.org

Lukisan sebagai sumber sejarah


Hai, Sobat Pio! Kali ini kita akan mempelajari tentang lukisan sebagai sumber sejarah. Lukisan merupakan sebuah bentuk ekspresi ide dan emosi yang dituangkan melalui bentuk, garis, warna, dan tekstur. Lukisan dapat dijadikan sebagai sumber sejarah karena merupakan salah satu contoh sumber visual, yaitu sesuatu yang bisa dilihat. Tidak hanya lukisan, namun masih ada sumber visual lainnya yaitu foto, video, dan peta. Salah satu lukisan yang dapat dijadikan sebagai sumber sejarah adalah lukisan gua. Lukisan gua yang berusia ribuan tahun merupakan salah satu sumber sejarah seni lukis dunia. Lukisan gua merupakan refleksi kehidupan manusia pada masa prasejarah yang bergantung pada alam. Lukisan gua menjadi bukti bagi manusia pada jaman sekarang untuk mempelajari kehidupan pada masa itu. Lukisan gua umumnya berbentuk coretan, lukisan, atau cap yang terdapat di dinding gua atau tebing yang dibuat oleh orang-orang jaman dulu sebagai media untuk menyampaikan pesan atau catatan-catatan peristiwa yang terjadi pada jaman itu. Bentuk visual yang terdapat di dinding-dinding gua digunakan sebagai alat komunikasi antar manusia pada jaman itu. Dengan melihat dan menelaah gambar-gambar yang barada di dinding gua kita dapat mengetahui kegiatan apa saja yang mereka lakukan dan bagaimana suasana pada jaman itu. Lukisan yang digambarkan dalam gua pada masa prasejarah merupakan bentuk refleksi dari kehidupan yang dijalani pada masa itu. Kehidupan mereka pada masa itu masih sangat bergantung pada alam. Gua sebagai tempat tinggal dijadikan sebagai salah satu tempat untuk mengekspresikan perjalanan hidup mereka pada saat itu. Lukisan pada dinding gua merupakan sebuah ungkapan kata-kata manusia pada masa itu yang ingin disampaikan kepada masyarakat lainnya yang pada akhirnya menjadi bukti bagi manusia jaman sekarang untuk mempelajarinya. Lukisan pada jaman tersebut juga dijadikan sebagai inspirasi bagi pelukis untuk membuat sebuah karya seni lukisan dalam bentuk dan bahan yang berbeda-beda. Nah, Kalian sudah tahukan kenapa lukisan dapat dijadikan sebagai sumber sejarah. Di dalam sebuah karya lukisan selalu ada cerita yang ingin disampaikan oleh pembuat lukisan kepada orang-orang lain. Karena itulah lukisan dapat digunakan sebagai sumber sejarah. Kita bisa mengambil banyak manfaat dengan meneliti dan mengetahui isi yang disampaikan dalam sebuah karya lukisan. (RED_NDY&RED_KEY)Sumber: https://id.wikipedia.org

Rasa Yang Mati


Hai, sobat Pio! Kali ini kita akan membahas tentang rasa yang mati. Apakah kalian tahu apa itu rasa yang mati? Rasa yang mati atau sering dikenal mati rasa merupakan proses mental dan emosional untuk menutupi perasaan yang sedang dirasakan dan tidak ingin mengekspresikan perasaannya. Penyebab mati rasa yang paling umum adalah depresi dan kecemasan. Kali ini kita akan mempelajari tentang mati rasa karena cinta. Kebanyakan orang berpikir bahwa berada dalam hubungan asmara akan membuatnya merasa berada di puncak dunia. Namun banyak orang merasa mati rasa dalam hubungan asmara ketika mereka mengalami peristiwa traumatis. Hal ini mungkin terjadi di hubungan sebelumnya dimana menjalani hubungan yang toxic. Orang yang mengalami mati rasa cenderung menghindari apa yang mereka rasakan dan tidak menunjukkan apa yang mereka rasakan.

Ada beberapa tanda seseorang mengalami mati rasa antara lain, kehilangan motifasi untuk melanjutkan hidup, sulit mengetahui apa yang dirasakan diri sendiri, cenderung menyendiri dan jauh dari keramaian, merasa datar secara fisik maupun emosional, sulit merasakan kebahagiaan atau kesenangan, dan kehilangan minat melakukan pekerjaan, orang dengan hati yang mati akan cenderung menolak dan menghindari apa yang mereka rasakan bahkan sampai mereka tidak menyadari kondisi yang mereka alami. Penyebab orang mengalami mati rasa adalah perasaan cemas, gangguan kepribadian, duka, obat-obatan, depresi, pelecehan mental, pelecehan fisik, stress yang luar biasa, gangguan PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), dan gangguan mental. Ada penyebab pasti ada cara untuk mengatasinya. Beberapa cara untuk mengatasi mati rasa adalah dengan mencari tahu dan mengobati penyebab yang mendasarinya, memulai berinteraksi dengan orang terdekat, dan tidur yang cukup.

Nah, jadi gimana, apakah kalian sudah mengerti apa itu mati rasa karena cinta? Kalian harus menghindari hal tersebut dengan perbanyak berinteraksi dengan orang lain, berolahraga, membaca buku, dan melakukan hal positif lainnya. Apabila kalian menghindari penyebab tersebut kalian bisa hidup dengan normal dan tanpa tekanan. Karena kita tidak akan bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. (RED_NDY&RED_KEY)

Sumber: https://www.klikdokter.com

Alih Wahana Puisi “Aku Ingin” ke Film Cinta dalam Sepotong Roti


Hai, Sobat Pio! Perubahan bentuk kesenian ke kesenian lain seperti pengubahan novel ke dalam film atau pengubahan puisi ke dalam lagu disebut sebagai alih wahana yang secara teori dapat bernama ekranisasi, musikalisasi, dramatisasi, atau novelisasi. Salah satu contohnya yaitu puisi “Aku Ingin” karya Sapardi Djoko Damono yang dialih wahanakan menjadi film “Cinta dalam Sepotong Roti” karya Garin Nugroho.

Puisi “Aku Ingin” karya Sapardi Djoko Damono sudah jadi bagian dari kehidupan banyak orang di Indonesia. Dengan kata-kata yang sederhana, puisi ini berhasil menggambarkan cinta yang tulus dan tidak berlebihan. Baris “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana” pasti sering terdengar, terutama saat orang sedang berbicara tentang cinta yang murni dan apa adanya.

Nah, pada tahun 1991, Garin Nugroho, seorang sutradara yang juga punya cara pandang unik terhadap seni, terinspirasi oleh puisi ini dan mengadaptasinya ke dalam film berjudul Cinta dalam Sepotong Roti. Alih wahana ini, atau transformasi dari puisi ke film, dilakukan Garin dengan sangat hati-hati, memastikan bahwa esensi dari puisi “Aku Ingin” tetap hidup dalam bentuk yang berbeda.

Film ini tidak hanya mencoba memvisualisasikan apa yang ada di puisi Sapardi, tetapi juga memperluas maknanya. Cinta dalam Sepotong Roti menceritakan tentang perjalanan cinta dan pencarian makna hidup dari sekelompok sahabat. Garin menggunakan elemen-elemen visual yang memukau, serta dialog yang puitis untuk menangkap dan memperkaya nuansa yang ada di dalam puisi “Aku Ingin”.

Garin berhasil menangkap keindahan dan kesederhanaan yang ada di dalam puisi tersebut, lalu mengembangkannya menjadi sebuah narasi film yang lebih luas. Dengan cara ini, Garin tidak hanya menghormati karya asli Sapardi, tetapi juga memberikan kesempatan kepada penonton untuk merasakan puisi tersebut dengan cara yang berbeda.

Alih wahana ini membuktikan bahwa sebuah puisi yang sederhana bisa berkembang menjadi sebuah karya film yang kaya akan emosi dan makna. Cinta dalam Sepotong Roti pun menjadi bukti bahwa seni memang bisa menjelma dalam berbagai bentuk, tetap menyentuh hati, dan selalu punya cara baru untuk dinikmati. (RED_DEW)

Sumber: https://lib.ui.ac.id

Hujan Bulan Juni


Hai, Sobat Pio! Kalian udah pernah baca atau dengar cerita ini belum? Kalau belum yuk baca ceritanya seru loh. Ada seorang dosen perempuan yang masih muda berasal dari Indonesia dan berkesempatan belajar di Universitas Sastra di Jepang, dosen muda tersebut bernama Pingkan (Velove Vexia). Seorang laki-laki yang bernama Sarwono atau Adipati Dolken bersedih karena harus ditinggal Pingkan selama dua tahun. Pada suatu hari, Sarwono ditugaskan oleh atasannya ke Universitas Sam Ratulangi, Manado. Sarwono membawa Pingkan sebagai guidenya selama di Manado. Disana Pingkan bertemu keluarga besar dari almarhum ayahnya. Setelah sampai di Manado mereka berdua sempat jalan- jalan dan keliling desa bersama keluarga dari Pingkan.

Pingkan mulai dipojokkan dengan pertanyaan terkait hubungannya dengan Sarwono. Bukan masalah perbedaan yang di mata mereka sangat besar dan bukan mereka tidak menyadari juga, akan tetapi mereka sudah nyaman di dalam ruangan kedap suara selama bertahun tahun, yang mereka sebut dengan cinta atau kasih sayang. Apakah ini menjadi jalan perpisahan mereka? Selain perlu menyelesaikan masalah di depan keluarga Pingkan, mereka juga harus bertahan selama dua tahun yang berbeda negara. Mereka berdua harus selalu saling menjaga perasaan meski berbeda negara. Sarwono takut jika Pingkan memiliki perasaan kepada orang jepang atau mahasiswa yang ada disana. Tetapi Pingkan yakin bahwa dia akan tetap selalu cinta kepada Sarwono.

Kita bisa mengambil pelajaran dari cerita ini, bahwasanya jika dua insan berkomitmen dan saling melengkapi mereka tidak akan pernah berpisah meskipn berbeda negara. Dua insan tersebut akan saling menjaga hati pasangannya. Seperti puisi Hujan Bulan Juni.

Hujan Bulan Juni

Tak ada yang lebih tabah

Dari hujan bulan juni

Dirahasiakannya rintik rindunya

Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak

Dari hujan bulan juni

Dihapusnya jejak-jejak kakinya

Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif

Dari hujan bulan juni

Dibiarkannya yang tak terucapkan

Diserap akar pohon bunga itu

(1989)

– Sapardi Djoko Damono (RED_FWD)

Sumber : https://id.wikipedia.org https://tirto.id

Kisah Putri Ular


Hai, Sobat Pio! Kalian tau nggak sih apa itu Kisah Putri Ular? Yuk, Simak Artikel berikut ini. Suatu negeri di kawasan Simalungun, dipimpin oleh seorang raja yang baik dan arif. Raja tersebut memiliki seorang putri yang cantik jelita hingga berita kecantikan putri itu diketahui seluruh pelosok negeri. Termasuk seseorang raja muda yang memerintah di sebuah kerajaan yang letaknya tidak jauh dari kerjaan ayah sang putri.

Mendengar kabar tersebut, raja muda yang tampan itu berniat untuk melamar sang putri. Keesokan harinya rombongan utusan raja muda datang ke tempat tinggal sang putri. Sesampainya di sana, mereka segera menyampaikan pinangan dari rajanya dan dengan sukacita diterima oleh ayah sang putri. Raja muda sangat gembira mengetahui pinangannya diterima. Malamnya, sang raja memberitahukan pada putrinya bahwa ada seorang raja muda yang meminangnya. Dengan malu-malu, putri mengangguk bersedia. Sang raja mengingatkan putrinya untuk menjaga diri baik-baik agar tidak terjadi sesuatu yang dapat membatalkan pernikahan.

Suatu hari, sang putri pergi mandi ditemani beberapa orang dayang-nya di sebuah kolam yang berada di belakang istana. Setelah beberapa saat berendam, sang putri duduk di atas batu di tepi kolam sambil membayangkan betapa bahagianya saat pernikahan nanti. Saat sang putri asyik mengkhayal, tiba-tiba angin bertiup kencang dan sebuah ranting pohon yang ujungnya tajam mendadak jatuh tepat mengenai hidungnya dan menjadi luka.

Sang putri panik membayangkan pernikahannya dengan raja muda akan gagal. Pikiran itu terus berkecamuk di kepalanya hingga sang putri pun jadi putus asa. Sambil menangis, ia berdoa minta dihukum atas perbuatannya tersebut. Tidak lama kemudian, petir menyambar dan seketika kaki sang putri mengeluarkan sisik.

Sisik tersebut semakin merambat ke atas. Dayang-dayangnya kaget dan segera memanggil kedua orang tua putri. Sesampainya di kolam pemandian, mereka sudah tidak melihat sang putri. Yang tampak hanya seekor ular besar yang bergelung di atas batu. Ular besar penjelmaan sang putri pun segera pergi meninggalkan mereka dan masuk ke dalam semak belukar. Sang raja dan permaisuri beserta dayang-dayangnya tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka pun menyesali nasib malang sang putri. Pesan moral dari kisah ini adalah berhati-hati dengan permohonan. Hal apapun yang membuat kalian sedih, jangan sampai bermohon untuk sesuatu yang buruk. (RED_RSM)

Sumber : https://www.detik.com

Pentingnya Pengalaman Sastra pada Guru Pendidikan Bahasa


Hai, Sobat Pio! Guru merupakan seorang pendidik yang mempunyai kewajiban mendidik peserta didiknya sesuai dengan bidang keilmuan yang dia punya tetapi setiap guru mata pelajaran memiliki keunikan tersendiri dimana ada guru yang mempunyai kefokusan dalam beberapa disiplin ilmu seperti guru IPA memiliki tiga jenis yakni guru dalam bidang fisikanya saja, guru biologi dan guru kimia namun masih adakah beberapa guru yang harus mencakup dua disiplin ilmu sekaligus yakni guru bahasa dan sastra indonesia dimana guru ini harus mempunyai dan menguasai dua ranah sekaligus yakni dalam bidang bahasanya meliputi linguistik dan ranah sastranya.

Hal ini yang menjadi timbulnya problematika dalam pembelajaran sastra dimana dalam beberapa guru bahasa dan sastra di Indonesia mengalami kendala dalam proses pembelajaran sastra dimana salah satu masalahnya guru memiliki kekurangan dari segi pengalaman dan pemahaman dalam ranah sastranya daripada ranah bahasa hal ini di buktikan dalam beberapa jurnal pembelajaran sastra yakni jurnal ” Kompetensi Kesusastraan Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di Wilayah Tanggerang Selatan” kemudian ada pula dalam artikel ilmiah yang berjudul “Sejumlah Masalah Pengajaran Sastra” dimana disebutkan kesediaan guru sastra hanya 18,4% sedangkan guru bahasa ialah 55,6% dan guru yang minat keduanya ialah 26.0% hal ini disebabkan karena sebagian guru hanya tertarik dalam ranah bahasa, mengajarkan sastra lebih menyita perhatian ekstra dan kurang mampu dalam mengajarkan sastra.

Dari riset tersebut dapat disimpulkan bahwa penguasaan guru sastra memang kurang tentu perlu kita sadari darimana problematika ini bisa terjadi berdasarkan pengalaman yang saya alami sebagai mahasiswa jurusan bahasa dan sastra indonesia saya merasa pembelajaran dalam kuliah pun lebih menekankan pada aspek pendidikan dan bahasa sedangkan sastra kurang diperhatikan karena mata kuliah sastra cenderung sedikit dibandingkan mata kuliah yang berkaitan dengan ranah pendidikan dan bahasa hal ini bisa menjadi faktor ketidakseimbangan seorang calon pendidik. 

Dari paparan diatas dapat disimpulkan problematika kompetensi guru dalam pembelajaran sastra ialah disebabkan oleh kurangnya SDM, fasilitas, kurikulum dan minat sedangkan solusinya ialah dengan memperbaiki kurikulum, mengadakan program pemberdayaan budaya sastra, menekankan pembelajaran disiplin ilmu sastra, dan penyediaan fasilitas sastra.(RED_MVA)

Sumber : http://Kompasiana.com

Pengaruh Globalisasi terhadap Tema dan Gaya dalam Sastra Indonesia


Hai, Sobat Pio! Globalisasi sebagai fenomena yang mencakup integrasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik di seluruh dunia telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia sastra. Sastra Indonesia tidak terkecuali, di mana pengaruh globalisasi dapat dilihat dalam tema dan gaya yang diusung oleh para penulisnya.

Dengan semakin terhubungnya Indonesia dengan dunia luar, isu identitas nasional dan multikulturalisme menjadi tema yang sering diangkat dalam sastra Indonesia kontemporer. Konflik antara modernitas dan tradisi menjadi tema sentral dalam banyak karya sastra. Dalam karya-karya ini, penulis sering menggambarkan benturan antara nilai-nilai tradisional dengan perkembangan modern yang cepat. Contoh yang menonjol adalah karya Eka Kurniawan yang sering menggabungkan unsur-unsur tradisional dengan cerita yang berlatar modern.

Globalisasi juga telah memperbesar kesenjangan sosial dan ekonomi, yang kemudian menjadi bahan kritis dalam sastra Indonesia. Para penulis mengangkat isu-isu seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan eksploitasi melalui karya-karya mereka. Globalisasi memengaruhi penggunaan bahasa dalam sastra Indonesia. Penulis cenderung menggunakan bahasa yang lebih dinamis dan modern, termasuk penggunaan istilah asing dan slang. Diksi yang lebih kontemporer ini mencerminkan perpaduan antara bahasa lokal dengan pengaruh global.

Banyak penulis Indonesia yang kini menggabungkan berbagai genre dalam karya mereka. Hal ini menunjukkan bahwa globalisasi membuka lebih banyak kemungkinan eksplorasi genre bagi para penulis. Pengaruh globalisasi terhadap sastra Indonesia sangatlah signifikan. Melalui tema-tema seperti identitas, modernitas vs tradisi, ketidakadilan sosial, dan isu lingkungan, serta gaya naratif yang semakin beragam dan eksperimental, sastra Indonesia terus berkembang dan mencerminkan dinamika masyarakat Indonesia dalam konteks global. Penulis-penulis Indonesia memanfaatkan pengaruh global ini untuk memperkaya karya mereka, menciptakan karya-karya yang tidak hanya relevan secara lokal tetapi juga memiliki daya tarik universal. (RED_KNF)

sumber : https://www.kompasiana.com

PANJI ASMARABANGUN


   Hai, Sobat Pio! Panji adalah sebuah cerita yang sudah ada sejak zaman dahulu. Menurut pengurus museum Airlangga Kediri, cerita Panji berasal dari Kediri sejak abad 10 sampai 11 masehi. Cerita Panji sendiri sangat khas dengan 2 tokoh, yakni sang putra mahkota Raden Panji Inu Kertapati dan sang putri mahkota Dewi Sekartaji. Cerita Panji sendiri diduga dari Kediri dikarenakan bentang alam yang cocok seperti pada cerita Ande Ande Lumut. Ukiran Ande Ande Lumut juga terdapa pada Sanggar Budaya Nusantara di area goa Selomangleng.

   Ande Ande Lumut yang bernama asli Panji Asmarabangun adalah putra mahkota yang enggan menduduki tahta raja sehingga membuat raja murka. Asmarabangunpun memulai pengembaaraannya, mendaki gunung, melewati lembah, menyusuri sungai, mengikuti angin membawanya. Hingga pada suau desa, Asmara bangun bertemu seorang janda tua. Asmarabangun pun menyamarkan identitasnya menjadi Ande Ande Lumut. Ande Ande Lumut pun berniat untuk membantu kehidupan janda tersebut dengan cara membatu mencari kayu dan rutinitas lainnya guna menafkahi kehidupan janda tersebut. Ande Ande Lumut juga memiliki 2 Punokawan yang berbadan kecil tetapi memiliki beberapa kelebihan yang setia menemani perjalanannya.

   Di sisi lain, Dewi Sekartaji selaku putri mahkota mencari Asmarabangun. Gunung didakinya, Lembah dilewatinya, Hutan ditelusuriya, Hingga mengikuti kemana angin bertiup demi menemukan sang Panji Asmarabangun. Sebelum perjalanan ersebut, Dewi Sekartaji dibekali sebuah pusaka oleh ibunya. Hingga pada suatu perkampungan, Dewi Sekartaji bertemu dengan Wanita tua dengan ketiga anaknya. Mbok Rondo, adalah nama dari wanita tua tersebut. Ketiga anakya bernama Klenting Abang, Klenting Ijo, dan Klentig Biru. Dewi Sekartaji pun bergabung dengan mereka dan mendapatkan julukan Klenting Kuning.

   Tidak lama setelah itu, Ande Ande Lumut membuat sayembara mencari istri. Berita itupun terdengar oleh Mbok Rondo dan ketiga Klenting. Klenting Kuning yang sedang mencuci juga baru mendengar berita tersebut tetapi dia masih mengingat Panji Asmarabangun. 3 Klentingpun antusias mengikuti sayembara tersebut. Hingga bertemu sungai. Sungai tersebut arusnya deras, gelap nan dalam. Tidak lama muncul riak air yang meluas dengan perlahan hingga muncul mahluk besar. Yuyu Kangkang, berdiri dengan gagah, menawarkan tumpangan dengan syarat mencium pipi kepiting besar itu. Ketiga Klenting itu segera diseberangkan dan bergegas menemui Ande Ande Lumut.

   Beberapa saat setelah  itu, Klenting Kuning sampai di sungai tersebut dan ditawari hal yang sama. Dikareakan harga dirinya, Klenting Kuning menolak tawaran tersebut dan mengancamnya dengan mengacungkan pusaka hingga mengeringkn sungai Brantas. Yuyu Kangkang pun takut dan mengantarnya tanpa imbalan sepeserpun.

   Setibanya disana, Ketiga Klenting tampil menawan, sedangkan Klenting Kuning tampil apa adanya dan sedikit lusuh. Walaupun begitu, Ande Ande Lumut menolak ketiga Klenting dan lebih memilih Klnting Kuning.

   Cerita ini memiliki banyak versi. Tetapi, menurut pengurus museum Airlangga menceritakan versi diatas saat kunjungan. (RED_RAY)

Sumber : https://id.wikipedia.org/