Karya: Ayu Rahmawati D.
Di suatu pagi yang cerah, aku duduk bersandar di dinding kamar mandi. Pagi ini memang tak secerah hati dan pikiranku. Hinaan, kecaman, dan cacian mereka masih terdengar nyaring di telingaku. Aku menekan kedua telingaku keras-keras, sembari terus menangis dalam diam. Kemudian aku membuka pintu kamar mandi dan segera pergi dari sini. Aku menunduk, menghindari semua tatapan aneh mereka. Mereka terdengar berbisik-bisik.
“Tita sekarang jadi aneh, ya.”
“Ayahnya itu seorang pembunuh, loh!”
Tenang. Kau tidak boleh marah, Tita. Aku Tita, dan aku adalah anak yang baik. Aku bukan seperti ayahku! Ku-ulangi kalimat tersebut dalam hati, memaafkan mereka, dan segera pulang begitu saja.
Aku berjalan gontai menuju pemakaman. Tempat ibuku diistirahatkan dengan tenang. Aku bersimpuh di tempat tidur abadi ibuku. “Ibu, teman-temanku selalu menghindariku. Sebenarnya aku salah apa?” tanyaku dengan mengelus-elus batu nisan ibuku sembari menangis. Aku mendengar suara-suara itu lagi. Tunggu, ini aneh. Semua hinaan itu bukan ditujukan untukku, melainkan ayahku. Tepat ketika aku melihatnya mati saat dihakimi massa karena telah membunuh istrinya sendiri. Benar, ayahku telah membunuh ibuku! Bahkan binatang itu tidak pantas menerima gelar ‘ayah’. Karenanya, aku kehilangan ibuku,karenanya pula aku dijauhi teman-temanku. Aku sangat membencinya!
Lagi-lagi aku menekan kedua telingaku, suara-suara itu sungguh mengganggu. Aku berteriak sekencang-kencangnya dan segera lari kembali ke sekolah. Di perjalanan dengan langkah lebar-lebar, aku baru menyadari tadi aku keluar sekolah pada jam istirahat pertama. Ketika aku kembali, rupanya seluruh murid SMA X sudah masuk ke kelasnya masing-masing. Aku masuk ke dalam kelasku, beruntung belum ada guru yang mengisi kelas kami. Sabrina, teman sebangkuku bertanya kepadaku tepat saat aku menduduki bangku.
“Kau ini dari mana saja, Ta? Kau tahu tidak kalau ini sudah jam terakhir?”
“Tita, kau yang sekarang ini bukan dirimu, kau tahu ‘kan maksu
dku? Kami tahu kau pasti trauma. Ceritakan saja pada kami keluh kesahmu.” sahut Fara, yang duduk di depanku.
dku? Kami tahu kau pasti trauma. Ceritakan saja pada kami keluh kesahmu.” sahut Fara, yang duduk di depanku.
Kemudian Sisil, anak yang duduk tepat di samping Fara ikut menyahut pula, “Belakangan ini kau aneh, tau? Apa karena kata-kata dari mereka? Sudahlah, kautidak perlu menjadi mudah tersinggung seperti itu.” mendengar itu, aku langsung menatapnya kemudian menatap mereka bertiga secara bergantian. Mereka terlihat bingung beberapa saat. Aku pergi keluar kelas tanpa meninggalkan sehuruf pun jawaban untuk mereka yang cerewet itu. Aku jadi kesal, dan aku mendengar suara-suara yang menggangu itu lagi.
Setelah mengalami hari yang panjang kemarin, aku bangun pagi dengan semangat. Hari ini perasaanku sedang baik, aku tersenyum sepanjang jalanku menuju sekolah. Sampai sekolah, aku menyapa seluruh orang yang kutemui sepanjang jalanku menuju kelas. Mereka masih saja menatapku dengan aneh, tapi aku tidak peduli. Seakan tidak ada yang mengganggu perasaan bahagiaku saat ini. Tiba-tiba, aku mendengar suara-suara itu lagi. Kali ini berdengung sebentar lalu suara itu pergi. Aku mulai membuka mataku dan menurunkan kedua tanganku dari telinga. Aku mulai memasuki kelas. Kelas sangat sepi, tidak seperti biasanya, padahal jam sudah menunjukkan pukul tujuh. Oh, aku hampir lupa. Aku benar-benar telah melewati hari yang panjang kemarin, sampai-sampai aku berhalusinasi bertemu dengan mereka pagi ini. Mayat-mayat mereka pun juga sudah kuhanyutkan semua di sungai terdekat. Ya, semua warga sekolah ini. Memangnya siapa peduli kalau Tita adalah anak yang baik?