Kalian tahu Karapan Sapi tidak?


Hai, Sobat Pio! Apa kalian tahu tentang tradisi budaya karapan sapi? Karapan sapi merupakan perlombaan pacuan sapi yang berasal dari Madura, Jawa Timur. Pada tradisi budaya karapan sapi ini  menggunakan sepasang sapi untuk menarik semacam kereta dari kayu dan disandingkan dengan sepasang sapi lainnya untuk diperlombakan. Karapan sapi ini biasanya digelar setiap tahun sekali pada bulan Agustus atau September, lalu akan diperlombakan lagi untuk memperebutkan juara pada bulan September atau Oktober.

Budaya karapan sapi ini sudah ada sejak abad ke-14 Masehi. Kata kerapan berasal dari kata kerap atau kirab, yang berarti berangkat bersama-sama. Pada zaman dahulu pertanian berkembang sangat pesat, maka dari itu para petani berlomba-lomba untuk menyelesaikan sawahnya. Dan pada akhirnya muncullah perlombaan karapan sapi ini.

Tradisi budaya karapan sapi ini memiliki banyak jenis loh Sobat Pio, di antaranya karapan kecil atau biasa disebut karapan keni oleh masyarakat Madura. Disebut karapan kecil karena karapan jenis ini diselenggarakan pada tingkat kecamatan. Selain itu, karapan kecil atau karapan keni ini ditempuh dengan jarak 110 km dengan menggunakan sapi-sapi yang masih dilatih. Tidak hanya itu, jenis karapan sapi lainnya yang sering kita temui, yaitu karapan sapi besar atau biasa disebut karapan rajha. Sesuai namanya, karapan ini tergolong karapan sapi jenis besar karena diselenggarakan di ibukota kabupaten. Karapan sapi jenis ini ditempuh dengan jarak 120 km dan pesertanya berasal dari juara tingkat kecamatan.

Sebelum karapan dimulai, sapi-sapi yang akan diperlombakan dihias oleh sang pemilik dengan berbagai macam atribut seperti pakaian warna-warni dan perhiasan seperti lonceng yang memperindah sapi untuk diperlombakan. Setelah itu, sapi akan diarak menuju lapangan untuk dipamerkan kepada penonton, sekaligus untuk meregangkan otot-otot sapi sebelum perlombaan dimulai.

Karapan sapi bukan hanya sekedar perlombaan, tetapi merupakan suatu tradisi yang mengandung nilai-nilai luhur dalam masyarakat. Nah Sobat Pio, itu tadi merupakan sedikit informasi mengenai tradisi budaya yang berasal dari Madura, Jawa Timur. Semoga bermanfaat ya Sobat Pio! (RED_FRN)

Sumber : https://pulaumadura.com

 

 

Melestarikan Batik Lewat Motif Modern


Hai, Sobat Pio! Kali ini kita akan membahas mengenai pelestarian ragam budaya batik lewat motif modern. Taukah kalian? Batik merupakan suatu warisan leluhur hasil karya bangsa Indonesia yang telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya Lisan dan nonbedawi.

Batik Indonesia dapat berkembang sampai pada suatu tingkatan yang tidak ada bandingannya, baik dalam desain motif ataupun proses pembuatannya. Corak dan motif pada kain batik yang beragam menggambarkan suatu makna dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Motif batik merupakan kerangka gambar pada kain batik perpaduan dari garis, bentuk, dan corak sehingga mewujudkan satu kesatuan batik secara keseluruhan. Banyak jenis motif batik yang dapat ditemui di Indonesia, seperti batik motif hewan, motif manusia, motif geometris dan lain sebagainya.

Dengan adanya era globalisasi pada zaman sekarang menjadikan fashion maupun kebudayaan lokal seperti batik terlupakan. Banyak masyarakat Indonesia lebih memilih menggunakan fashion yang dipengaruhi oleh tren dari luar negeri. Selain itu, dengan adanya tren fashion dari luar negeri menjadikan brand lokal jarang yang menggunakan unsur kebudayaan sebagai komponennya.

Maka dari itu, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menjaga agar batik dapat terus dilestarikan adalah dengan mengkreasikan batik dengan warna cerah dan motif yang populer di kalangan anak muda. Tidak hanya dengan mengkreasikan warna dan motif, batik dapat dikreasikan dengan gambar-gambar yang unik dan menarik, seperti batik dengan gambar gajah, ayam jago, teko air, dan masih banyak lagi. Gambar yang ada pada batik motif modern didesain lebih ringan agar masyarakat tetap menggunakan dan melestarikan budaya warisan nenek moyang kita.

Meskipun batik modern banyak disajikan dengan motif yang unik, namun batik tetap memiliki makna dan filosofi yang dalam. Seperti batik modern dengan motif ayam jago memiliki filosofi bahwa ayam jago merupakan seseorang yang memiliki sifat pekerja keras dan mau bangun pagi.

Dengan bergesernya produk lokal bangsa Indonesia, semangat dan rasa cinta terhadap kebudayaan akan semakin menurun. Dengan begitu diperlukan kesadaran dari generasi-generasi muda untuk mengakui dan menjaga batik Indonesia agar terus berkembang. Sekian artikel kali ini, semoga bermanfaat ya Sobat Pio. (RED_FRN)

 

Sumber : https://nasional.republika.com

 

 

 

Keunikan Tari Topeng


Hai, Sobat Pio! Kalian pasti tidak asing lagi dengan tari topeng bukan? Tari topeng merupakan tarian yang lahir pada masa pemerintahan Prabu Panji Dewa. Beliau adalah Raja Jenggala yang ada di Jawa Timur. Tarian ini sudah ada sejak abad ke-10 Masehi. Seiring berjalannya waktu, tari topeng ini mulai menyebar ke beberapa daerah di Jawa Barat, salah satunya daerah Cirebon.

Pada saat tari topeng mulai masuk di daerah Cirebon, tarian ini kemudian menyatu dengan kesenian setempat, hingga menciptakan sebuah tarian yang khas. Tarian ini memiliki simbol dan juga filosofi tertentu pada setiap gerakannya. Tari topeng ini juga menjadi asal mula munculnya tarian lain, seperti tari topeng rumyang, tari topeng panji, tari topeng samba, dan lain sebagainya.

Sesuai dengan namanya, tari topeng disajikan dengan menggunakan topeng sebagai aksesorisnya. Selain itu, pakaian yang digunakan penari, di antaranya baju kutang lengan pendek, celana panjang bawah lutut (sontog), penutup dada yang dikenakan di bahu (mongkron), selendang di pinggang (sampur), ikat pinggang (nadong), penutup kepala (sobrah), serta gelang tangan, dan kaki.

Banyak hal unik yang ada pada tarian ini, di antaranya adalah topeng yang digunakan oleh setiap penari memiliki karakter yang berbeda-beda. Masing-masing karakter membawa peranan tersendiri dalam tarian topeng. Selain itu, warna dan ukiran yang ada pada topeng menggambarkan arti pada setiap karakternya.

Dengan diiringi alunan alat musik gendang dan rebab, tari topeng dipentaskan di tempat terbuka kemudian membentuk setengah lingkaran. Ciri khas tarian ini terletak pada gerakan tangan yang gemulai. Selain itu, tari topeng merupakan jenis tarian sakral yang membutukan ritual khusus sebelum mementaskannya. Menurut kepercayaan setempat, umumnya para penari akan berpuasa, pantang, maupun bersemedi sebelum melakukan tari topeng. Bahkan, sebelum melakukan pertunjukan tari topeng masyarakat percaya bahwa harus disediakan dua sesajen sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur. Tidak hanya mengandung unsur hiburan, tarian ini juga mempunyai nilai-nilai dan pesan tertentu.

Nah, perlu kesadaran masyarakat agar tetap terus melestarikan dan mengenalkan tarian ini kepada masyarakat lokal maupun mancanegara. (RED_FRN)

Sumber : https://rimbakita.com

 

Ragam Budaya Barikin


Hai Sobat Pio! Barikin merupakan desa yang berada di Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimatan Selatan. Desa ini dijadikan sebagai desanya para seniman, karena desa ini terpilih menjadi satu-satunya desa yang mengikuti program seniman mengajar se- Kalimantan Selatan.

Ada banyak kesenian tradisional yang terkenal dalam budaya Barikin ini, seperti Teater Rakyat Japin Carita. Pertunjukan Japin Carita ini merupakan bentuk perpaduan antara tari dan musik Japin di Kalimantan Selatan. Alat musik yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan seni ini adalah gambus, biola, suling, keprak, tamborin, dan gong.

Dalam masyarakat Banjar, Gambus mengalami perkembangan dan perubahan penyebutan menjadi panting. Panting sudah ada sejak tahun 170-an. Istilah Panting berasal dari bahasa Banjar, yang artinya “memanting” atau memetik. Pada mulanya, alat musik Panting ini digunakan untuk mengiringi pertunjukan teater rakyat, serta digunakan untuk mengiringi tari-tarian. Seiring dengan perkembangan zaman, alat musik Panting ini mulai digunakan sebagai pengiring lagu-lagu daerah Kalimantan Selatan.

Banyak kesenian budaya barikin lainnya yang tidak kalah menarik, yaitu wayang. Jenis wayang yang menjadi ciri khas budaya Barikin sangat beragam, salah satunya adalah wayang gung. Wayang gung merupakan pertunjukan yang mementaskan cerita Ramayana versi Banjar yang menampilkan pengolahan vokal pemain dan gerakan tari dalam iringan musik gamelan dan ketopong.

Selain pertunjukan wayang, ada juga Tari Gandut yang menjadi daya tarik masyarakat. Tari ini merupakan tari tradisional khas Kalimantan Selatan yang masih dilestarikan hingga saat ini. Tari Gandut bersal dari kata “begandut” yang merupakan istilah untuk penari perempuan. Orang yang mengikuti tarian ini biasanya memberikan sejumlah uang di suatu wadah yang disebut sasanggan. Dalam pertunjukan Tari Gandut ini, penari membawakan tarian ini dengan gerakan yang cenderung menarik penonton khususnya kaum lelaki untuk ikut menari.

Jadi, sebagai salah satu keragaman budaya yang ada di Indonesia, budaya Barikin memberikan dampak baik bagi masyarakat. Tugas kita sebagai penerus bangsa adalah ikut melestarikan dan menjaga budaya kita agar tetap dapat dinikmati oleh anak cucu kita nanti. (RED_FRN)

Sumber : http://journal.isi.ac.i

Serap Tampak Tapak


Hai Sobat Pio! Kalian tau nggak sih apa itu Permanen Serap Tampak Tapak? Serap Tampak Tapak merupakan pameran seni yang digelar di Orbital Dago, Bandung, Jawa Barat. Pameran seni tunggal karya Daniel Nugraha ini menyajikan ragam kegiatan sketsa urban yang pernah dijalaninya loh, Sobat Pio.

Pameran tunggal karya Daniel Nugraha ini berisi tentang perjalanan atau traveling diary yang dikemas dalam bentuk karya sketsa lukisan hasil menggambar dari beberapa kota di Indonesia, seperti Jakarta, Surakarta, Dewata, serta Bandung.

Daniel Nugraha membagikan cerita dan pengalamannya melalui sebuah karya dengan nuansa visual yang menarik. Beberapa karya yang ia buat dilakukan secara on the spot atau menggambar langsung pada objek yang ingin dilukis. Selain dilakukan secara on the spot, pembuatan karya juga di gambar ulang di studio.

Pada pameran tunggal karya ini, pengunjung dapat membaca cerita yang ada di sebelah karya lukisan Daniel Nugraha. Cerita yang dimuat merupakan cerita perjalanan pada setiapiap kota yang ia datangi. Saat bagian bawah sketsa yang dipajang pameran terdapat nominal harga yang menjadikan kesan tersendiri bagi para pengunjung.

Menurut Daniel Nugraha, dengan diadakan pameran sketsa dari diary perjalanannya ini dapat menyadarkan para pengunjung bahwa banyak perubahan yang dapat terjadi pada tempat yang ia lukis, baik perubahan dalam segi penampilan, keadaan, serta cerita dari tempat tersebut.

Selain adanya pameran tunggal karya Daniel Nugraha ini, aktivitas komunitas pembuatan sketsa lainnya sudah mulai menyebar di banyak kota di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali, Medan, Makassar, dan masih banyak lagi. Dengan banyaknya sketser yang sudah menyebar di seluruh Indonesia ini sering diadakan kegiatan workshop dan seminar, baik tingkat nasional maupun internasional.

Adanya pameran Serap Tampak Tapak ini memberikan banyak dampak positif pada kalangan masyarakat serta para seniman sketsa lukisan. Diharapkan pada masa kedepannya masyarakat lebih dapat mengenal tentang sejarah Indonesia dan para komunitas sketsa disetiap kota di Indonnesia dapat berkembang dengan baik. (RED_FRN)

Sumber : http://beritabaik.id

Tradisi Sigajang Laleng Lipa


Hai Sobat Pio! Tahukah kalian? Bahwa ada sebuah ungkapan masyarakat Bugis yang berbunyi, “Naia tau de’gaga sirina, de lainna olokolo’e, siri’ e mitu tariaseng tau”. Ungkapan tersebut bermakna, “Barang siapa yang tidak punya siri (rasa malu), maka dia bukanlah siapa-siapa, melainkan hanya seekor binatang”. Demikianlah prinsip masyarakat Bugis. Ada pula pepatah lama yang berbunyi, “Siri Paranraeng Nyawa Palao”. Yang berarti, “Apabila harga diri telah terkoyak, maka nyawa bayarannya”. Dengan kata lain, bagi masyarakat Bugis, soal harga diri sudah tidak bisa ditawar lagi.

Dengan nilai-nilai tersebut, masyarakat Bugis rela melakukan apapun demi menegakkan harga diri atau appaenteng siri. Jika harga diri sudah terlanjur diinjak-injak, maka hanya ada satu cara untuk mempertahankan harga diri, yaitu dengan Sigajang Laleng Lipa. Apa sih Sigajang Laleng Lipa itu? Sigajang Laleng Lipa adalah tradisi tarung sarung yang dilakukan dua orang masyarakat Bugis kuno. Kedua belah pihak yang berseteru akan masuk ke dalam sarung dengan dibekali sebilah badik.

Mula-mula, kedua pihak yang berseteru akan saling berhadapan di dalam sarung. Keduanya harus mampu menjaga keseimbangan dan mengadu kekuatan hingga ada yang kalah. Kekalahan ini bisa karena salah satunya keluar dari sarung, menyerah, atau bahkan mati. Tradisi ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, di masa Kerajaan Bugis. Di masa itu, tarung sarung menjadi jalan terakhir jika musyawarah dan mufakat tidak membuahkan hasil. Cara ini juga dipilih karena tidak melibatkan banyak pihak, sehingga persoalan tidak merambat ke hal-hal yang lain.

Bisa dibayangkan, betapa menegangkannya tarung sarung tersebut. Di dalam ruang sarung yang sempit, kedua pihak harus berhadapan dengan jarak yang sangat dekat. Hanya kekuatan mental dan keahlian mempertahankan diri yang berbicara pada saat itu. Orang Bugis meyakini, ketika badik telah keluar dari sarungnya, pantang diselip di pinggang sebelum terhujam di tubuh lawan.

Akan tetapi, sebelum melakukan Sigajang Laleng Lipa, sudah tentu ada proses yang perlu dilakukan. Keluarga harus memilih anggota keluarga terbaik yang tidak berniat menyerah di medan pertarungan. Kemudian, keduanya akan membawa badik warisan leluhur keluarga yang dipercaya memiliki kekuatan dan mantra. Meski kini sudah ditinggalkan, tradisi ini masih dirawat sebagai salah satu peninggalan dari leluhur.

Nah Sobat Pio, itu tadi sedikit penjelasan tentang tradisi Sigajang Laleng Lipa. Meskipun tradisi Sigajang Laleng Lipa telah ditinggalkan, tetapi tradisi tersebut tetap menjadi warisan budaya leluhur Sulawesi Selatan. Sekian artikel kali ini, semoga bermanfaat ya, Sobat Pio. Sampai jumpa di edisi selanjutnya. (RED_ASA)

Sumber: www.diadona.id

Suku Besar di Kalimantan Utara


Hai Sobat Pio! Apa kalian tahu tentang Suku Tidung? Atau bahkan kalian baru tahu jika ada suku tersebut? Jadi, kali ini kita akan membahas tentang salah satu suku yang ada di Uang Peringatan Kemerdekaan 75 Tahun Republik Indonesia, yaitu uang Rp.75.000, yang sempat ramai diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia. Suku Tidung merupakan sub suku dari Suku Dayak Murut. Salah satu dari tujuh suku besar yang tinggal di Kalimantan Utara. Enam suku besar Dayak lainnya adalah Ngaju, Apu Kayan, Iban, Klemantan, Punan, dan Ot Danum. Suku Tidung sendiri terbagi menjadi sepuluh suku kecil. Nama tidung diambil dari kata tiding atau tideng yang artinya gunung atau bukit. Namun, kebanyakan masyarakat Suku Tidung bermukim di wilayah pesisir dan menganut agama Islam. Suku Tidung mempunyai pergerakan yang dinamis. Mereka pindah dari pedalaman Kalimantan, Kabupaten Tanah Tidung hingga ke Malaysia, Malinau, mendekati pantai di Nunukan, Tarakan, dan Berau.

Pakaian adat Suku Tidung terdiri dari Pelimbangan dan Kurung Bantut (pakaian sehari-hari), Selampoy (pakaian adat), Talulandom (pakaian resmi), dan Sina Beranti (pakaian pengantin). Pakaian adat ini telah menjadi karya budaya milik Suku Tidung Ulun Pagun melalui proses rekonstruksi berdasarkan data pakaian adat Tidung di masa lalu. Proses rekonstruksi pakaian adat sebagai identitas etnis Suku Tidung Ulun Pagun menemukan momen yang tepat, seiring dengan perubahan status Tarakan dari kota administratif menjadi kotamadya, di mana pakaian tersebut kemudian diakui sebagai pakaian daerah Kota Tarakan.

Bangunan rumah adat Baloy Mayo adalah potret pelaksanaan hukum adat masyarakat Tidung. Di sana, siapa saja yang melanggar hukum akan diadili. Meskipun sebelumnya para pelanggar hukum telah diadili polisi, namun bila masyarakat sekitar merasa tidak puas dengan ganjaran yang diberikan, hukuman adat akan diberikan. Di bagian utama rumah adat, terdapat tiga sisi yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri, yaitu serambi khusus pertemuan adat, penghakiman, dan juga serambi khusus untuk memberi nasihat. Di bilik penghakiman, para pelanggar hukum adat akan disidang oleh masyarakat dan para pemangku adat. Adapun sanksi yang akan diberikan adalah berupa denda, mulai dari emas hingga sapi.

Nah, itu tadi penjelasan mengenai Suku Tidung. Masih sangat banyak loh, suku-suku di negara kita ini, mari kita pelajari dan lestarikan! Semoga dapat menambah wawasan kalian ya, sampai jumpa di edisi selanjutnya. (RED_SHF)

Sumber : https://historia.id

Tarian Yang Lagi Viral?


Hai Sobat Pio! Kali ini kita akan membahas tarian yang sedang ramai dibincangkan. Tahukah kalian tarian ini bukanlah tarian Saman, melainkan tari Ratoh Jaroe. Tarian ini mendadak menjadi perbincangan sejagat raya usai pembukaan pesta olah raga terakbar se-Asia, Asian Games 2018. Tarian yang dibawakan oleh 1.500 penari perempuan tingkat SMA di Provinsi DKI Jakarta memang menimbulkan decak kagum. Gerak yang seirama dan serempak meski musik serta lagu pengiringnya bertempo cepat, pakaian yang gemerlap dibalut songket khas Aceh yang cantik, seakan menjadi primadona dalam perhelatan pesta pembukaan Asian Games 2018. Banyak orang terkecoh dan mengira bahwa yang ditampilkan adalah tari Saman dari Aceh, meski sebagian ada yang menyebutnya sebagai tari Ratoh Jaroe. Ternyata sang koreografer memang mengadopsi kedua tarian tersebut, dan yang pasti bukan tari Saman karena seluruh penarinya adalah perempuan.

Tari Ratoh Jaroe adalah tari kreasi baru ciptaan Yusri Saleh atau Dek Gam, seniman asal Aceh, pada tahun 2000. Tarian ini berawal dari rasa prihatin karena saat pertama kali menginjakkan kakinya di Jakarta, hanya ada satu tarian duduk bernama Rampai Aceh yang tidak menggunakan “rapai” sebagai pengiringnya, melainkan hanya vokal. Ia kemudian mengembangkan tarian duduk ini dengan meracik berbagai gerakan tari asal Aceh seperti Ratoh Duek, Rateb Meusekat, Rapai Geleng, dan Likok Pulo. Musik pengiring ditambahkan di dalamnya, terutama “rapai” yang dikendalikan oleh seorang “syahi”, pemain musik sekaligus bertindak sebagai vokalis. Penamaan Ratoh Jaroe berasal dari kata ratoh yang artinya berdzikir dan jaroe yang artinya tangan. Penggabungan keduanya bisa diterjemahkan sebagai berdzikir sambil memainkan gerak tangan atau menari.

Tari Ratoh Jaroe merepresentasikan semangat dan keanggunan perempuan Aceh yang terkenal tangguh sejak dahulu. Pemberani, pantang menyerah, pantang mundur, militan, dan sangat kompak antara satu dengan lainnya. Tari Ratoh Jaroe sudah mencuri perhatian sejak pertama kali diperkenalkan di Jakarta, terutama bagi para pelajar putri yang memang bergiat dalam ekstrakurikuler kesenian. Tarian ini mampu menawar rasa penasaran terhadap tari Saman yang ternyata hanya boleh dimainkan oleh penari laki-laki saja, dan Dek Gam menjawabnya dengan tari Ratoh Jaroe yang hanya dibawakan oleh penari perempuan dalam jumlah genap yang tidak terbatas.

Gerakan di dalam tarian Ratoh Jaroe diangkat dari unsur kebersamaan dan kekompakan, yang didominasi oleh kombinasi gerakan tangan serta badan. Para penari bergerak sambil mendendangkan lagu dan menepuk-nepuk dada, menjentikan jari sambil menggeleng-gelengkan kepala dalam posisi duduk, sesekali sambil berdiri di atas lutut dan sesekali juga sambil membungkukkan badan. Penari harus menyesuaikan irama tabuhan gendang seorang syahi dengan gerakan-gerakan yang mereka lakukan. Syair yang dilantunkan syahi terkadang dibalas oleh para penari yang biasanya dilakukan di awal, pertengahan, dan penutupan tari. Gerakan dilakukan seirama dalam tempo tinggi dengan semangat yang meledak-ledak sebagai representasi dari semangat dan tekad kuat para perempuan Aceh. Seringkali terdengar teriakan-teriakan kecil dari para penari sebagai ekspresi semangat dan konsentrasi mereka yang terjadi secara spontan tanpa direncanakan sebelumnya. Terkadang ada pula suara melengking dari salah satu penari yang menjadi ciri khas tari Ratoh Jaroe. Selama tarian berlangsung, posisi syahi sebagai pengiring tari berada di sisi kanan atau kiri barisan penari, bukan menjadi bagian dari barisan penari. Syahi melantunkan syair yang berisi pesan atau nasihat Islami dalam bahasa Aceh, dibawakan sambil menabuh rapai, yaitu alat musik pukul khas Aceh yang bentuknya menyerupai rebana, terbuat dari kayu dan kulit binatang.

Penari Ratoh Jaroe mengenakan kostum yang tertutup rapat sesuai syariat Islam yang dipegang teguh oleh masyarakat Aceh. Terdiri dari atasan model baju kurung lengan panjang menggunakan bahan polos dengan dominasi warna dasar merah, kuning, atau hijau. Bagian depan baju dikombinasi dengan tenun Aceh yang biasanya berwarna kuning emas untuk menutupi bagian dada. Kostum bagian bawah berupa celana panjang berbahan polos dengan warna gelap. Songket khas Aceh dikenakan di pinggang berpadu dengan warna busananya yang cerah. Penari juga mengenakan hijab warna polos dilengkapi ikat kepala polos yang berwarna atau bisa juga bercorak, fungsinya adalah untuk menjaga kerapatan hijab saat penari melakukan gerakan-gerakan Ratoh Jaroe yang meledak-ledak dalam tempo bervariasi. Bentuk ikat kepala bisa divariasikan sesuai keinginan koreografernya, yang penting fungsinya tetap untuk menjaga kerapatan dan kerapian hijab. Saat ini, tari Ratoh Jaroe mulai sering dipertunjukkan sebagai bagian dalam acara penyambutan kedatangan tamu penting maupun tamu kenegaraan yang berkunjung ke Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.

Nah, itu tadi sejarah tari Ratoh Jaroe yang sedang viral di media sosial. Seharusnya kita bangga memiliki tarian tradisional khas Indonesia yang banyak disukai orang-orang di luar negri. Jadi, ayo tetap lestarikan budaya lokal walau dengan mempelajarinya sedikit demi sedikit itu akan membantu kelestarian budaya kita. Sudah dulu ya, pembahasan kita tentang Tari Ratoh Jaroe kali ini. Tetap patuhi protokol kesehatan ya, semoga bermanfaat. (RED_PIN)

Sumber: http://encyclopedia.jakarta-tourism.go.id/d

Kesenian Tradisional Masyarakat Banten


Hai Sobat Pio! Terdapat berbagai macam kesenian tradisional, salah satunya ialah debus.  Apa itu debus? Debus merupakan kesenian bela diri masyarakat orang Sunda Banten yang tersebar luas di wilayah Jawa Barat dan Sumatra Barat, mempunyai fungsi sebagai penyebaran agama Islam, namun pada masa penjajahan Belanda tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Agung Tirtayasa beralih fungsi, kesenian ini digunakan untuk membangkitkan semangat perjuangan rakyat Banten melawan musuh. Kesenian debus sempat menghilang bersamaan dengan melemahnya pemerintahan Sultan Rafiudin, hingga akhirnya muncul lagi pada tahun 1960 sampai sekarang. Saat ini, debus ingin fokus pada kekebalan seseorang terhadap benda tajam, benda keras, bara api, dan barang yang tidak lazim.

Debus dapat dikembangkan di Padepokan atau Sanggar Silat. Akan tetapi, tidak semua Padepokan melakukan kesenian debus. Kesenian debus dan pencak silat memang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Setiap pemain debus sudah pasti pesilat, namun tidak setiap pesilat adalah pemain debus. Ada tiga aliran pencak silat yang cukup besar di wilayah Banten, yaitu aliran cimande, bandrong, dan terumbu. Aliran tersebut mewarnai karakteristik kesenian debus yang dipimpin oleh seorang guru besar atau syekh. Pemain debus sekitar 20 termasuk pemain atraksi dan penabuh nayaga. Sebelum memulai atraksi, seluruh perlengkapan sudah harus disiapkan seperti pemain, penabuh, dan pemimpin permainan disebut juga syekh.

Peralatan pemain terdiri dari debus dengan gadanya, golok, pisau, bola lampu, kelapa, alat penggoreng, dan lain-lain. Untuk alat musik pingiring terdiri dari gendang besar, gendang kecil, rebana, dan kecrek. Setelah peralatan siap, maka atraksi akan segera dimulai dengan diawali berbagai lagu tradisional dan zikir pujian kepada Tuhan dan Rasulnya. Untuk membuat suasana semakin mencekam, maka pemain debus akan melakukan atraksi lanjutan di antaranya berjalan di atas bara api yang menyala, memukul bata di kepala dengan kayu, menjilat pisau yang dibakar, menorehkan pecahan botol ke badan, menusuk pipi dengan jarum, menginjak pecahan kaca, menyiram badan dengan air keras, menusuk perut dengan paku banten atau almadad, mengupas kulit kelapa dengan gigi, menyayat badan dengan golok yang tajam, dan menusuk lidah dengan kawat (sujen dan jara).

Nah, Sobat Pio bisa menyaksikan atraksi debus diberbagai wilayah, tetapi sekarang atraksi debus hanya ada saat acara tertentu. Jadi tidak setiap hari bisa melihat atraksi ini. Warisan budaya yang semakin lama punah oleh perubahan jaman. Sekian artikel kali ini dan sampai bertemu di edisi selanjutnya. (RED_SSS)

Sumber : http://kebudayaan.kemdikbud.go.

 

Tradisi Unik Gigi Runcing


Hai Sobat Pio! Kalian tahu? Bahwa setiap wanita tentunya memilki standar kecantikan masing-masing. Mulai dari tubuh yang ideal, kaki yang jenjang, rambut pirang, bulu mata yang panjang hingga sederet standar kecantikan lainnya. Jika kebanyakan orang akan berasumsi kulit putih, langsing, dan tinggi merupakan standar kecantikan yang sempurna, lain halnya dengan perempuan suku Mentawai. Suku yang menetap di Kepulauan Mentawai, Pulau Siberut, Sumatera ini memiliki standar kecantikan mereka sendiri.

Kecantikan wanita Suku Mentawai dilihat dari seberapa runcing gigi mereka. Tradisi meruncingkan gigi ini bernama kerik gigi yang sudah dilakukan sejak lama. Tujuan kerik gigi ialah untuk terlihat cantik dan menarik di mata pria di sekelilingnya. Selain itu, sebagai penanda kedewasaan seorang wanita, dan dipercaya juga akan memberikan kebahagiaan dan kedamaian. Mereka juga percaya jika sudah memiliki gigi runcing maka akan memiliki kebahagiaan dan kedamaian jiwa. Walaupun proses mengerik gigi ini menyakitkan, ada pesan yang didapatkan oleh para wanita Mentawai dalam tradisi ini. Setiap kesakitan yang diderita akan membawanya dalam proses pendewasaan dan penemuan jati diri.

Proses pengerikan gigi ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang.  Proses peruncingan gigi hanya bisa dilakukan oleh ketua adat Suku Mentawai. Alat yang digunakan adalah sebilah perangkat dari kayu atau besi yang sudah diasah sampai tajam. Tentunya proses ritual ini menyakitkan, untuk meredakan sakit yang ditanggung pasca kerik gigi, sebelum proses biasanya wanita Suku Mentawai menggigit pisang hijau. Dalam prosesnya pun tidak sebentar, kurang lebih butuh waktu sekitar setengah jam, nyaris tanpa jeda. Wanita yang dikerik giginya hanya diberi waktu sebentar untuk sekadar menghela nafas sesaat, karena gigi yang diruncing tak hanya 1 atau 2 saja.

Namun, seperti halnya tradisi unik lain di dunia, ritual meruncingkan gigi kini mulai ditinggalkan oleh warga Mentawai. Pengaruh dunia luar menjadi alasan utama terkikisnya budaya leluhur Mentawai. Sebelum punah, marilah kita lestarikan warisan leluhur bangsa ini. Jangan biarkan pengaruh dunia luar menghilangkan budaya yang kita miliki. Sekian artikel kali ini, semoga bermanfaat. (RED_FBA)

Sumber: https://idntimes.com