Hai, Sobat Pio! Sejak dahulu di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur ada sebuah upacara tradisi khusus untuk menghalau wabah penyakit. Tradisi itu sudah berlangsung sejak lama dan masih terus diselenggarakan sampai saat ini. Nama tradisi ini adalah Kebo-keboan atau dalam bahasa Indonesia berarti “kerbau jadi-jadian”. Kebo-keboan merupakan salah satu upacara adat Banyuwangi, Jawa Timur. Upacara Kebo-keboan merupakan wujud rasa syukur masyarakat suku Osing terhadap hasil panen yang mereka terima. Selain itu, ritual ini juga berfungsi sebagai upacara bersih desa agar masyarakat terhindar dari bahaya.
Sesuai dengan namanya, kebo-keboan dilakukan dengan mengarak kerbau. Namun, kerbau yang digunakan bukan kerbau sungguhan, melainkan manusia yang berdandan seperti kerbau dengan dilumuri cat berwarna hitam pekat beserta aksesoris tanduk di kepala dan jadilah kerbau yang siap diarak. Dalam ritual adat tersebut, warga yang berdandan kebo-keboan (kerbau) nantinya akan mengelilingi penonton, kemudian satu persatu menceburkan penonton ke dalam kubangan. Penonton tersebut akan ditarik lalu dicampakkan ke kubangan dengan sangat kuat, hingga orang itu melayang akrobatik lantas mendarat di kubangan dengan sangat keras.
Mengenai hal ini, ada cerita tutur sejak masa leluhur yang tetap dipegang teguh oleh generasi masa kini di Desa Alasmalang. Di Banyuwangi sendiri ada dua upacara tradisi sejenis. Selain di Desa Alasmalang, ada juga tradisi Keboan di Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi, Jawa Timur. Meskipun mirip, upacara tradisi di kedua desa ini memiliki sejumlah perbedaan. Begitu seterusnya ritual ini dilakukan, sampai semua orang yang ada di tempat itu berlumuran lumpur seperti main kebo-keboan. Diiringi musik khas Banyuwangi, hal ini dilakukan untuk meminta berkah keselamatan dan wujud bersih desa.
Upacara Kebo-keboan dilaksanakan satu tahun sekali, Tepatnya di hari Minggu antara tanggal 1 sampai 10 bulan Sura. Hari Minggu dipilih karena pada hari ini seluruh masyarakat tidak sedang bekerja. Sementara pemilihan bulan Sura dikarenakan masyarakat Jawa percaya bulan ini merupakan bulan yang keramat. Upacara tradisi ini dimulai pada pukul 08.00 WIB. Upacara dimulai dengan doa dan makan tumpeng bersama. Jumlah tumpeng yang disediakan dalam acara makan bersama ada 12 buah. Jumlah itu melambangkan perputaran kehidupan manusia, 12 jam sehari dan 12 jam semalam.
Ritual ini diakhiri dengan prosesi membajak sawah dan menabur benih padi oleh kebo-keboan di petak sawah yang telah disediakan. Dalam prosesnya, benih padi yang nantinya ditabur oleh Dewi Sri ini akan banyak diperebutkan warga, karena diyakini bibitnya akan menghasilkan hasil panen yang lebih berlimpah.
Banyak sekali budaya yang ada di Indonesia ini ya, Sobat Pio. Sebagai generasi penerus yang baik, sebaiknya kita harus tetap melestarikan budaya-budaya ini. Itu tadi sedikit penjelasan tentang kebo-keboan yang berada di Banyuwangi, semoga bermanfaat dan sampai bertemu di edisi selanjutnya. (RED_INZ)
Sumber : http://m.merdeka.com